EL-THAREQ

Senin, 27 Juni 2011

Revitalisasi Syariat Islam: Perlunya Sikap Terbuka Memandang Mazhab (Laporan Seminar)

Menjalankan syariah Islam (SI) adalah merupakan kewajiban bagi ummatnya, baik secara individual maupun kolektif. Disisi lain, tuntutan untuk menerapkan SI merupakan fenomena luas diberbagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, termasuk negara kita Indonesia, dimana ada beberapa daerah yang menyatakan diri siap untuk menerapkannya. Mengingat pentingnya masalah tersebut, maka pada tanggal 25 Januari 2001 lalu, Forum Komunikasi Mahasiswa Indonesia Riyadh (FIKRAH) bekerjasama dengan Keluarga Besar Mahasiswa Indonesia (KBMI) Madinah, mengadakan pertemuan silaturrahmi mahasiswa Indonesia se-Arab Saudi, sekaligus seminar sehari yang bertema: Revitalisasi Syariat Islam Dalam Kehidupan Masyarakat.

Seminar yang bertempat di Qashr Al-Shalihiyah, Madinah Al-Munawwarah itu, dibuka oleh Dubes Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi dan Oman, dengan diwakili oleh Bapak Pudjo Sumedi AS.,M.Ed (Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Riyadh). Dan dihadiri oleh Mahasiswa Indonesia se-Arab Saudi. Dalam seminar tersebut tampil tiga orang pembicara : H. Muhammad Jamhuri, Lc. dari Universitas Ummul Quro Makkah Al-Mukarramah,  H. Muhammad Muinuddin Basri, MA dari Universitas Islam Al-Imam Muhammad bin Saud Riyadh, serta H. Mawardi Muhammad Shaleh, MA. dari Universitas Islam Madinah.

Tentang makna Revitalisasi Syariah Islam itu, Muinuddin yang tampil dengan makalahnya berjudul :Peran Mahasiswa Islam Dalam Revitalisasi Syariah Ditengah Masyarakat, menjelaskan sebagai usaha untuk menjadikan syariat sebagai sesuatu yang vital, sesuatu yang diyakini memiliki value yang sangat krusial, diyakini sebagai bagian dari kepribadian masyarakat. Dikatakannya bahwa Revitalisasi Syariat  bukan terbatas pada penegakan hudud saja, tapi mencakup pelaksanaan manhaj Islam yang utuh termasuk juga usaha menciptakan situasi dimana nilai-nilai Islam bisa dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya kandidat Doktor dari Universitas Al-Imam Muhammad bin Saud Riyadh itu, menambahkan bahwa Revitalisasi tersebut merupakan bagian dari Tabligh risalah, tugas nabi dan para pengikutnya. Dan ahlul ilmi punya tugas yang terbesar dalam hal ini, baik dalam memenej maupun memberi contoh dalam pelaksanaannya.

Mengenai fenomena maraknya tuntutan untuk menerapkan SI, menurut Mawardi MS, itu merupakan efek balik (feed back) dari kehidupan sekuler dan materialis yang telah memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan moral, sosial, budaya di negeri-negeri muslim, sehingga mereka kehilangan sesuatu yang menjadi keistimewaan mereka. Disisi lain, tambahnya, ajaran-ajaran Islam sangat cocok dengan kebutuhan fitri ummat untuk menjaga agama, akal, harta, keturunan, dan jiwa yang merupakan hak-hak yang paling asasi (Ad-Dhoruriyyat Al-Khamsah). Ternyata system-sistem diluar Islam telah gagal menjaga Ad-DhoruriyyatAl-Khomsah ini, bahkan telah menebar berbagai virus yang menyebabkan berbagai penyakit social dan menghantarkan masyarakat ke berbagai krisis yang berkepanjangan.

Mawardi yang juga kandidat Doktor dalam bidang fiqih ini, membandingkan tindak kejahatan yang terjadi di Amerika sebagai negara sekuler dengan Arab Saudi dimana SI diterapkan. Angka tindak kriminal yang terjadi di kota New York saja dalam satu hari sama dengan angka kejahatan dalam satu tahun di Arab Saudi. Belum lagi di kota-kota besar lainnya seperti Washington, California, Miami, dsb.

Tetapi untuk menerapkan SI banyak kendala dan tantangannya, baik dari luar (faktor eksternal), maupun dari kalangan ummat Islam sendiri (faktor internal). Mawardi yang tampil dengan makalahnya yang berjudul :Kendala Penerapan Syariah Islam (SI) Dalam Kehidupan Bermasyarakat Dan Solusinya itu, memaparkan beberapa faktor eksternal, antara lain : berasal dari Yahudi, Nasrani, dan Barat sekuler yang senantiasa menciptakan makar dan memusuhi Islam. Diantara makar yang mereka lakukan :
(1). Mempropagandakan berbagai bentuk syubuhat (keraguan) tentang kelayakan diterapkannya SI di era globalisasi ini, seperti : kembali kepada SI berarti mundur kebelakang, substansi hukum Islam banyak yang bertentangan dengan HAM, SI mengikat perempuan dan menghambat jalannya roda pembangunan.
(2). Menciptakan berbagai konflik politik baru untuk mengacaukan agenda Islamisasi di berbagai negeri muslim, seperti : mendukung gerakan-gerakan separatis, menyulut konflik minoritas Kristen, dan lain-lainnya.
(3). Menciptakan ketergantungan ekonomi negara-negara muslim kepada barat, sehingga sejalan dengan kapitalisme global.
(4). Memanfaatkan media massa untuk mentasywih (memperburuk) citra SI, dengan memanipulasi berbagai kasus kemudian menisbatkannya kepada Islam, sehingga menimbulkan kebencian semua kalangan terhadap SI.

Sedangkan dari faktor internal, Mawardi mencatat beberapa point, antara lain :
(1). Kurangnya loyalitas kebanyakan ummat Islam terhadap agamanya, sebagai akibat dari minimnya pengetahuan mereka tentang SI itu sendiri.
(2). Terkotak-kotaknya ummat Islam kedalam berbagai kelompok, jamaah dan faksi, yang masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, sehingga sulit untuk menyatukan visi dan misi bersama.
(3). Adanya ulama us-su alias penjilat yang mendukung penguasa dengan cara mengeluarkan fatwa-fatwa pesanan, sehingga mereka memanipulasi tafsiran ayat Al-Quran atau Hadits guna memadamkan tuntutan massa untuk diterapkannya SI, seperti :tidak ada negara Islam, Islam itu cukup dengan melaksanakan hal-hal ritual saja, dsb.nya.
(4). Kelompok nasionalis sekuler yang notabene muslim, yang sudah dicuci otaknya oleh barat sekuler, mereka banyak mendominasi lembaga eksekutif dan legislative, dan banyak yang menduduki elit birokrasi.
(5). Kurangnya SDM dalam tubuh ummat yang benar-benar memahami detail-detail hukum Islam, yang bukan saja mampu memberi fatwa atas masalah-masalah kontemporer, tapi sekaligus bisa memberikan solusi alternatif bagi problematika social dan berbagai penyakit yang menimpa ummat.
(6). Langkanya negara Islam yang dapat dijadikan contoh ril bagi penerapan SI. Negara-negara Islam yang ada kurang menunjukkan kinerja yang baik, ada yang dikuasai oleh penguasa yang tidak aspiratif, adapula yang dikankangi oleh elit militer, dan sebagian lagi sibuk dalam pertikaian memperebutkan kursi, sehingga setiap ada peluang untuk menerapkan SI muncul pertanyaan negara mana yang akan dijadikan model percontohan.

Sementara itu, Muhammad Jamhuri yang tampil dengan makalahnya berjudul :Syariah dan Kolerasinya Dengan Aqidah dan Mazhab, juga menyinggung berbagai penyebab yang menjadi kendala dalam menerapkan SI ; Disamping gencarnya Ghozwul Fikri (perang pemikiran) yang memberikan asumsi bahwa SI identik dengan hal-hal yang berbau keras, seperti hukum qishash, rajam, jilid, potong tangan, dan sebagainya, juga disebabkan oleh ketidaktahuan mayoritas ummat Islam tentang hakikat SI itu sendiri, bahkan terdapat kesalahpahaman dalam mendefinisikan syariah, dimana syariah didefinisikan sebagai akidah saja atau fiqih saja. Padahal, menurut Jamhuri, syariah itu sangat luas, mencakup berbagai aspek baik akidah, ibadah, muamalah maupun akhlaq.

Selanjutnya, Jamhuri menguraikan beberapa perbedaan mendasar antara syariah dengan fiqih, antara lain :
(1). Syariah adalah sesuatu yang diturunkan Allah Swt, sedangkan fiqih hanyalah merupakan pemahaman ulama terhadap Islam.
(2). Syariah semuanya merupakan suatu kebenaran, sedangkan fiqih terkadang ada salahnya.
(3). Syariah mencakup bidang akidah, hukum amaliah dan akhlaq, sedangkan fiqih hanya khusus membahas hal-hal yang bersifat hukum amaliah saja.
(4). Syariah datang dengan sempurna tanpa ada cacat serta berlaku bagi seluruh manusia, sedangkan fiqih tidak demikian.

Disisi lain, Jamhuri mencermati adanya dikalangan ummat Islam yang membatasi syariah sebagai sebuah aliran mazhab tertentu dalam fiqih. Bahkan tidak sedikit diantara organisasi Islam yang mencantumkan didalam Anggaran Dasarnya bahwa pengambilan hukumnya mengacu kepada salah satu mazhab fiqih yang empat. Penyempitan terhadap pengertian syariah itu dapat mempersulit ummat Islam dalam menjalankan syariatnya. Sebab pemahaman sempit terhadap mazhab akan mempersempit gerak hukum, dimana tatkala tidak ditemukan hukum masalah tertentu dalam mazhabnya, maka ia akan merasa kesulitan dalam menetapkan hukum. Sementara itu syariah sendiri diturunkan untuk memudahkan, bukan mempersulit, menggembirakan, bukan menjauh-jauhkan, kata Jamhuri.

Jamhuri yang baru saja menyelasaikan pendidikannya di Universitas Ummul Quro ini, menambahkan bahwa berpegang pada satu mazhab saja akan menyulitkan dan mempersempit ruang lingkup syariah. Padahal syariah dengan khazanah nash-nashnya, mazhab-mazhabnya dan pendapat fiqihnya telah membuktikan betapa luasnya dan lenturnya hukum yang ada pada syariah tersebut. Karena itu ia menganjurkan agar sikap fanatisme mazhab perlu dikaji kembali, karena disamping mempersempit gerak seseorang dalam menjalankan syariat, juga akan terjebak kepada pemahaman Islam secara parsial (juzi) ; Sedangkan syariat Islam bersifat mudah, luas dan luwes serta kaffah dan syamil (universal).

Jamhuri mengajak kepada sikap bebas dan tidak hanya berpegang kepada satu mazhab tertentu saja. Sikap bebas tersebut tidak berarti mengecilkan atau meremehkan mazhab-mazhab itu. Tetapi, bebas mazhab yang kita maksudkan ialah memandang mazhab secara terbuka, sehingga dengan keterbukaan ini kita dapat memilih pendapat-pendapat yang dalil dan argumentasinya lebih kuat, dengan tanpa mempermasalahkan dari mazhab atau pendapat itu bersumber, jelasnya.

 Ia memberikan beberapa argumentasi tentang bebas mazhab ini, antara lain :
(1). Berpegang pada mazhab tertentu, berarti mengharuskan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh agama dan syariah, yang diwajibkan hanyalah mengikuti Al-Quran dan Hadits. Munculnya mazhab tersebut baru terjadi pada abad ke-2 dan ke-3 Hijrah. Jadi sangat tidak mungkin jika kewajiban untuk berpegang kepada satu mazhab tertentu itu didasarkan pada teks Al-Quran maupun Hadits, karena wahyu sudah terhenti dengan wafatnya Nabi Muhammada Saw.
(2). Imama-imam mazhab sendiri melarang ummat Islam bertaklid terhadap ijtihad dan pendapat mereka. Kewajiban bertaklid itu hanya disandarkan kepada pendapat golongan Muqallidin (ulama-ulama yang taklid dan fanatik terhadap mazhab tertentu).
(3). Ulama-ulama yang statusnya muqallid (pengikut mazhab) sendiri banyak yang menetapkan bahwa masyarakat muslim awam adalah golongan yang tidak bermazhab. Mazhab mereka ini sesuai dengan mufti-mufti mereka yang sezaman dengan mereka. Mayoritas kaum pelajar yang meminta fatwa kepada mereka, dan agar menyusun satu buku fiqih modern yang disajikan secara khusus agar mudah dipahami, pada hakekatnya mereka termasuk kelompok yang tidak bermazhab.
(4). Paradigma fiqih dan problematika mazhab telah menjadi permasalahan tersendiri bagi mereka yang masuk Islam. Mazhab apa yang seyogianya   kita ajarkan kepada mereka ? Adakah patut kita mengatakan kepada mereka bahwa dalam Islam terdapat banyak paradigma, sehingga mereka bisa memilih salah satunya ?
(5). Kalangan pemikir moderen saat ini menuntut kepada ahli fiqih untuk dapat menghadirkan fiqih dalam bentuk baru, yaitu fiqih yang disusun dalam materi perundang-undangan. Apakah kita akan menyajikan perundang-undangan fiqih moderen ini terbatas pada paradigma empat mazhab saja ? atau kita sajikan dengan mengambil pendapat yang paling rajih (kuat) dari semua mazhab dan kuat dalilnya menurut tinjauan dalam Al-Quran dan Hadits ? demikian menurut Jamhuri.

Lalu apa solusi dan peluang untuk menerapkan SI di negeri-negeri muslim ? Mawardi mencatat beberapa point sebagai faktor yang menentukan bagi pelaksanaan SI, antara lain :
(1). Menguatkan peran sosial dan politik para ulama.
(2). Menjalin kerjasama politik dengan berbagai unsur yang mendukung cita-cita Islam.
(3). Mensosialisaikan SI ke berbagai lapisan dan tingkatan masyarakat secara intensif.
(4). Menuangkan SI kedalam konstitusi dan perundang-undangan.
(5). Menjalin persatuan dan kesatuan antara kelompok-kelompok     gerakan Islam dan secara sepakat menyuarakan penerapan SI.
(6). Memanfaatkan media massa untuk mendukung penerapan SI.
(7). Mengingat kondisi ummat Islam yang begitu parah, perlu adanya tahapan dalam penerapan SI, setidak-tidaknya ada lima tahap yang mesti dilalui : Pertama, kristalisasi ide dan konsep. Kedua, penerangan dan sosialisasi. Ketiga, afirmasi dan eksistensi. Keempat, legalisasi. Kelima, institusionalisasi.

Dalam konteks Indonesia, menurut Mawardi, di era reformasi ini ada peluang besar bagi daerah-daerah untuk menerapkan SI, antara lain melalui otonomi khusus, dimana masing-masing daerah berhak menyusun materi hukum sendiri. Dan juga melalui peraturan daerah (perda) yang mana pemda leluasa dalam membuat perda dalam rangka memperkokoh penegakan hukum dalam daerah bersangkutan. Ketika ditanya, apakah menerapkan SI dengan cara otonomi itu tidak akan menyebabkan Islam terkotak-kotak dan menimbulkan perbedaan hukum antara daerah yang satu dengan lainnya yang juga sama-sama menerapkan SI, dan adakah landasan syarinya ? Mawardi menjawab, bahwa hal itu diatur dalam siasah qodhoiah (kebijakan hukum). Mengenai landasan syarinya (dalil Al-Quran dan sunnah), Mawardi mengaku belum menjumpainya, meskipun demikian ia mengutip kaedah ushul fiqih yang mengatakan Ma La Yudroku Kulluhu La Yutrok Julluhu (kalau tak mungkin melaksanakannya secara serentak keseluruhan, lakukanlah sebahagian yang mampu kita mengerjakannya). Dengan kata lain, jika menerapkan SI diseluruh wilayah Indonesia belum mungkin dilaksanakan, maka ketika ada peluang untuk menerapkannya melalui otonomi daerah tadi jangan kita sia-siakan.

Sementara itu, Muinuddin melihat hal ini sebagai bagian dari sunnah tadarruj, maksudnya penerapan Islam itu mesti melalui tahap demi tahap, tidak hanya dalam melaksanakan materi hukum-hukumnya, tapi juga bertahap dalam daerah pelaksanaannya. Bila pelaksanaan SI dimulai secara bertahap dari daerah A melalui otonomi tadi, dan diiringi pula oleh daerah B dan seterusnya, maka akhirnya nanti akan meliputi seluruh wilayah yang ada.

Namun, menurut Muinuddin, keberhasilan usaha untuk menerapkan SI itu ditentukan oleh orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang antara lain : (1). Mempunyai keyakinan yang kuat terhadap kesucian dan kebesaran syariat Islam. (2). Mengamalkan syariat Islam itu dalam kehidupan nyata. (3). Rela berkorban untuk mencapai tujuan demi tegaknya SI. (4). Memahami konsep dan prinsip perjuangan dengan paripurna dsb.nya.

 Dengan kata lain, untuk pelaksanaan SI itu perlu adanya sumber daya manusia yang betul-betul mampu menjadi kepala negara, bisa menjadi menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, dirjen dan lain-lainnya. Karena sehebat-hebatnya pemimpin, tak akan mampu melakukan satu perobahan tanpa didukung oleh orang yang melaksanakan programnya., demikian menurut Muinuddin.

Acara seminar tersebut juga telah berhasil membentuk Forum Silaturrahmi Pelajar dan Mahasiswa Indonesia  se-Arab Saudi, yang diketuai oleh  H. Muhammad Muinuddin Basri, MA.



Fikri Mahmud
King Saud University, Riyadh

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites