EL-THAREQ

Belajarlah Sebelum Beramal..!!

Niscaya Allah Akan Meninggikan Orang-Orang Yang Beriman Diantaramu Dan Orang-Orang Yang Di Beri Ilmu Pengetahuan Beberapa Derajat (Al-Mujadilah:11) Powered By: Emen, http://baubausemerbaksalaf.blogspot.com

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 29 Juli 2011

Beberapa Kesalahan Yang Umun Dilakukan Umat Islam Di Bulan Ramadhan

Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin. Semoga dengan mengetahui hal ini, kita dapat membetulkan kekeliruan yang selama ini terjadi.

1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!

3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini  kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156)
Untuk Jelasnya lihat Disini ! 
atau Disini

4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ

Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin”
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,

لا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍَ

Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)

6. Membangunkan Sahur … Sahur
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahukan pada kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan sahur … sahur …. baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.”(Lihat pembahasan at tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336)

7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ

“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih). Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata,”Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata,”Sekitar 50 ayat”. (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit).

8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta oleh para ulama pakar hadits. (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
Do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)

9. Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189).

10. “Ash Sholaatul Jaami’ah” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih
Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)

11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

12. Perayaan Nuzulul Qur’an
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)

13. Membayar Zakat Fithri dengan Uang
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita). “. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)

14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Hari Raya kepada Pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa no. 388)
Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan diri dari hal yang tidak diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan. Semoga Allah memperbaiki keadaan setiap orang yang membaca risalah ini.
Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Nasehat Untuk Organisasi Muhammadiyyah

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepada umat Islam assunnah dan isnad. Dan yang telah meninggikan derajat ulama hadits di setiap zaman dan tempat. Dan yang telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kita dengan sambungan riwayat. Dan yang telah membaguskan dan membuat indah wajah-wajah para muhaddits dan para periwayat. Yaitu orang-orang yang berjalan dan mengajak manusia untuk menempuh jalan yang penuh petunjuk lagi selamat.Kami memohon perlindungan dan ampunan kepada Allah dari kejelekan perbuatan jiwa dan dosa-dosa yang berkarat. Barangsiapa yang diberi petunjuk-Nya, niscaya tidak ada yang bisa membuatnya sesat.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan keharibaan Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wasallam yang diutus untuk menghapus seluruh syariat. Kemudian mengemban syariat Islam yang mulia dan terhormat. Dan yang dijadikan sebagai penutup para Nabi sampai hari kiamat. Dan semoga shalawat dan salam dilimpahkan pula kepada keluarga, para Sahabat dan pengikutnya sampai datangnya yaumut-tanad.

Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah Al Ahad Ash-Shamad. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diikuti selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

Amma ba’du :

Sesungguhnya agama ini adalah wahyu dari Allah azza wa jalla. Dan didapat dengan cara talaqqi dan isnad. Bukan dengan otodidak dan kreatifitas. Barangsiapa menyangkanya demikian, maka dia telah menjauhkan dirinya dari petunjuk sejauh-jauhnya.

Adalah Nabi shalallahu ‘alihi wasallam telah membacakan Al Qur’an kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhum, lalu mereka membacanya dihadapan Nabi. shalallahu ‘alihi wasallam. Dan para Shahabat membacakannya kepada para Tabi’in, lalu mereka membacanya dihadapan para Shahabat dan seterusnya. Demikianlah silsilah agama ini. Para Ulama dari dulu hingga sekarang telah menjalaninya sebagai standar baku untuk mendapatkan ilmu agama.

Demikian pula ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi shalallahu ‘alihi wasallam adalah bagian dari wahyu dan ilham. Orang-orang yang adil, shalih dan terpercaya sebelum kita telah menukilnya dan menyampaikannya kepada kita tanpa bias sedikitpun, baik pengurangan atau penambahan maupun kerancuan atau kesamaran. Bahkan dengan sangat jelas dan gamblang.

Hanya para pembaca kitab-kitab hadits dan mereka yang duduk bersimpuh untuk belajar dan mengambil faidah dari para Ulama yang mengetahui tingginya kedudukan As-Sunnah dan ilmu periwayatan yang disertai usaha maksimal untuk mendapatkan validitas dan kemurnian redaksi dan isnadnya.

Al Imam Abdullah bin Mubarak berkata :

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ. وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.

Artinya: isnad adalah bagian dari agama. Dan jika tanpa isnad, niscaya siapapun bebas berbicara seenaknya (tentang agama ini). Muqaddimah Shahih Muslim

Pembaca yang budiman, terdapat berita sebagai berikut

Muhammadiyah: Teropong Digital Bisa Atasi Awan

Imam Wahyudiyanta - detikcom

Surabaya - Penggunaan teropong canggih untuk melihat hilal dinilai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Prof Syafiq Mughni sah-sah saja. Namun, Rukyat tidak bisa hanya ditentukan dengan melihat hilal baik menggunakan mata telanjang maupun teropong digital.


Penentuan hilal dengan mata telanjang dilakukan karena belum berkembangnya ilmu pengetahuan. “Itu dulu waktu jaman Nabi Muhammad melihat dengan mata telanjang,” ujar Mughni saat dihubungi detiksurabaya.com, Kamis (6/9/2007)

Seiring berkembangnya waktu, kata Mughni, ilmu hisab (perhitungan) dan falak (perbintangan) semakin maju dan berkembang. Nah, dengan bertambah akuratnya kedua ilmu itulah penentuan hari awal puasa bisa ditetapkan.

Namun, kata Mughni, sah-sah saja jika menggunakan alat teknologi canggih. Sebab melihat bulan dengan mata telanjang belum bisa menjamin penentuan rukyat. “Bisa saja awan menghalangi pandangan mata terhadap bulan,” katanya. (iwd/mar)

Pembaca yang budiman, mari kita bandingkan pernyataan ini dengan keterangan dan penjelasan berikut :

Saya berkata dengan mengharap taufiq dari Allah :

حَدَّثَنِيْ شَيْخُنَا الوَالِد الشَّيْخُ المُحَدِّثُ الحَافِظُ المُعَمَّرُ الفَقِيْهُ أَحْمَدُ بنُ يَحْيَى بنِ مُحَمَّد شَبِيْر النَّجْمِيُّ آل شَبِيْر الأَثَرِيُّ –حفظه الله -

عَنْ مُحَمَّد خَيْرِ الحَجِّيِّ عَنْ أَمَةِ اللهِ الدَّهْلَوِيَّةِ عَنْ أَبِيْهاَ عَبْدِ الغَنِيِّ الدَّهْلَوِيِّ المَدَنِيِّ عَنْ مُحَمَّد عَابِدِ السِّنْدِيِّ,

(ح) وَعَنْ مُحَمَّدِ بنِ عَبدِ الرَّحْمَنِ بنِ إِسْحَاقَ آلُ الشَّيْخِ عَن سَعْدِ بنِ حَمَدِ بنِ عَتِيْقٍ عَنْ صَدِّيْق حَسَن خَان القَنُوْجِيِّ عَن عَبْدِ الحَقِّ بنِ فَضْلِ اللهِ العُثْمَانِيِّ,

كِلاَهُمَا عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مُحَمَّدِ بنِ إِسْمَاعِيلَ الأَمِيرِ عَنْ أَبِيْهِ مُحَمَّدِ بنِ إِسْمَاعِيلَ الأَمِيْرِ الصَّنْعَانِيِّ عَنْ عَبدِ اللهِ بنِ سَالِمِ البَصْرِيِّ المَكِّيِّ عَن إِبْرَاهِيْمَ الكَوْرَانِيِّ عَنْ سُلْطَانِ المُزَاحِيِّ عَن النُّوْرِ الزِّيَادِيِّ عَن الشَّمْسِ مُحَمَّدِ الرَّمْلِيِّ عَن زَكَرِيَّا الأَنْصَارِيِّ عَنِ العِزِّ بنِ الفُرَاتِ عَن عُمَرَ ابنِ أميلة عَنِ ابنِ البُخَارِيِّ عَنِ الإِمَامِ الحَافِظِ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبدِ الغَنِيِّ بنِ عَبدِ الوَاحِدِ المَقْدِسِيِّ-رحمه الله- صَاحِبِ عُمْدَةِ الأَحْكَامِ, أَنَّهُ قَالَ :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْـدُرُوْا لَهُ)).

Telah menyampaikan kepada saya Syaikhuna As-Syaikh Al Muhaddits Al Hafizh Al Faqih Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan, Ahmad bin Yahya bin Muhammad Syabir An-Najmi Alu Syabir Al Atsari Hafizhahullah dengan sanad yang bersambung sampai kepada Al Imam Al Hafizh Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al Maqdisi rahimahullah, beliau berkata dalam kitabnya Umdatul Ahkam :

Dari Abdullah bin Umar Radhiyalahu ‘anhuma, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda :

“Apabila kalian melihatnya, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya, maka berbukalah. Jika penglihatan kalian terhalang, maka sempurnakanlah 30 hari.”

Syaikhuna Ahmad An-Najmi hafizhahullah berkata :

Tema Hadits:

Yang mewajibkan puasa Ramadhan dan yang mewajibkan berbuka darinya serta hukumnya saat terjadi kesamaran.

Kosa Kata:

(إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ) : Kata ganti hu kembali kepada hilal. Dan wawu al jama’ah terarah kepada seluruh kaum muslimin.

(فَصُوْمُوْا) : Kalimat ini sebagai jawab syarth wa jaza dari kata idza. Dan yang serupa dengan kalimat ini adalah sabda Nabi: (وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا)

(فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ) : Yaitu jika penglihatan kalian terhalang oleh debu yang pekat atau mendung.

(فَاقْـدُرُوْا لَهُ) : Yaitu sempurnakanlah 30 hari.

Makna Umum :

Nabi memerintahkan umatnya untuk berpuasa dan berbuka berdasarkan ru’yatul hilal. Perintah ini terarah kepada seluruh kaum muslimin. Apabila salah seorang muslim melihatnya, maka seluruh kaum muslimin wajib berpuasa. Dan apabila dua orang atau lebih melihatnya saat keluarnya bulan Ramadhan dan masuknya bulan Syawal, maka seluruh kaum muslimin wajib berbuka dan berhari raya Idul Fitri, sebagaimana petunjuk yang terdapat pada dalil-dalil yang ada.

Fikih Hadits :

1. Dipahami darinya tentang penentuan hukumnya dengan rukyat. Dan maksud dari rukyat adalah penglihatan mata telanjang setiap individu umat ini. Oleh sebab itu terdapat hadits dari Nabi bahwa beliau bersabda :

((إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ, الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا …ألخ)) (1).

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak bisa menulis dan berhitung. Satu bulan demikian dan demikian…dst”.

Sabda Nabi (إِنَّا أُمَّّةٌ أُمِّيًّةٌ) menunjukkan pengingkaran terhadap penyebutan sebagian orang untuk bersandar kepada perhitungan bintang-bintang dan kedudukannya serta yang semisal dengannya.

2. Dipahami dari sabda Nabi (إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ) bahwa standarnya adalah penglihatan mata telanjang. Bukan bersandar pada penggunaan teropong bintang dan teropong digital serta teknologi canggih apapun. Perintah ini terarah kepada seluruh umat. Apa yang dikenal pada zaman tersebut sebagai cara untuk melihat hilal, maka itulah standar hukum syar’inya.

3. Dipahami dari sabda Nabi (فَصُوْمُوْا) yang merupakan jawaban dari syarat sebelumnya, bahwa rukyat dengan mata telanjanglah yang mewajibkan untuk berpuasa.

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang persaksian yang mewajibkan puasa.

Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyalahu ‘anhuma beliau berkata :

جَاءَ أَعْراَبِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الهِلاَلَ. قَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : يَا بِلاَلُ, أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُوْمُوْا غَداً. (2)

Artinya: Seorang Arab Badui datang kepada Nabi, kemudian berkata: “Sesungguhnya saya telah melihat hilal.”

Nabi bertanya: “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah? Apakah anda bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia menjawab: “Ya”.

Nabi bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia agar berpuasa besok”.

Terdapat juga hadits bahwa keluarnya bulan harus dipersaksikan oleh dua orang (3).

Sedangkan standar saksi untuk masuknya bulan Ramadhan atau masuknya bulan Syawal adalah cukuplah dia sebagai seorang muslim.

4. Sabda Nabi, (وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا) yaitu apabila kalian melihat bulan Syawal, maka berbukalah. Dipahami darinya bahwa rukyat atau menyempurnakan bilangan bulan 30 hari adalah standar untuk berbuka.

5. Terdapat perbedaan dalam memahami sabda Nabi (صُوْمُوْا) dan (أَفْطِرُوْا) yang menunjukkan bahwa perintah tersebut terarah kepada seluruh umat. Apakah rukyat satu orang cukup untuk seluruhnya atau masing-masing kaum dengan rukyat mereka sendiri-sendiri.

Oleh sebab itu para Ulama berbeda pendapat: Apakah rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin atau tidak berlaku kecuali kepada penduduk negerinya dan negara sekitarnya ?

Diantara para Ulama ada yang berpendapat bahwa rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin. Mereka berdalil bahwa manusia di zaman Nabi dan Khulafa Ar-Rasyidin tidak mengenal rukyat setiap kaum berlaku bagi mereka sendiri. Bahkan yang tampak bahwa rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin.

Saya berkata: Terdapat catatan pada pendapat ini.

Pertama: Bahwa tidak adanya penukilan tidak menunjukkan tidak terjadinya suatu kejadian. Manusia pada zaman tersebut berkomunikasi dengan alat komunikasi yang kuno. Sarana komunikasi seperti ini menjadikan penduduk setiap negeri terputus hubungan dengan negeri lainnya. Maka masing-masing negeri dengan rukyatnya untuk berpuasa dan berbuka.

Diantara buktinya adalah kisah Kuraib ketika tampak bulan kepadanya di Damaskus. Kemudian ketika sampai di Madinah pada akhir bulan, dia mengabarkan bahwa manusia melihat hilal pada malam jum’at. Maka Ibnu Abbas menjawab :

أَمَّا نَحْنُ فَقَدْ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ, فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتَّى نَرَاهُ أَوْ نُكْمِلَ العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ.(4)

Artinya: “Sedangkan kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan terus berpuasa sampai kami melihatnya atau menyempurnakan bilangan 30 hari.”

Dengan hadits ini jelaslah bahwa rukyat tidak berlaku kepada mereka seluruhnya.

Kedua: Pada saat itu tidak terdapat sarana komunikasi yang dapat menyampaikan berita kepada seluruh manusia ketika hilal terlihat.

Oleh sebab itu kami katakan: Sesungguhnya pendapat terkuat bahwa manusia pada zaman itu berpegang dengan rukyat masing-masing negerinya atau menyempurnakan bilangan bulan untuk berpuasa dan berbuka.

Dan yang tampak dengan jelas menurut saya pada masalah ini dan pada zaman ini adalah: Bahwa setiap negeri berbeda rukyatnya berdasarkan perbedaan tempat keluarnya hilal. Oleh sebab itu, apabila hilal terlihat penduduk timur bumi, kelazimannya akan berlaku bagi penduduk barat bumi.

Contohnya: Jika hilal terlihat di Pakistan, maka negara-negara setelahnya yang waktu tenggelam mataharinya belakangan, diwajibkan berpegang dengan rukyat tersebut. Sebab jika matahari telah mendahului bulan di Pakistan, maka pasti lebih jauh matahari mendahului bulan pada negara-negara setelahnya.

Demikian pula jika hilal terlihat di Saudi Arabia misalnya, maka negara-negara setelahnya wajib berpuasa dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya.

Praktisnya sebagai contoh, jika hilal terlihat di Saudi Arabia, maka wajib bagi Sudan, Mesir dan setelahnya dari negara-negara di Afrika dan Eropa yang waktu tenggelamnya matahari belakangan setelah Saudi Arabia untuk berpuasa. Dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya seperti Pakistan, Afghanistan, Irak, dan semisalnya.

Sebab telah dimaklumi bahwa semakin ke barat, maka waktu tenggelamnya matahari pada negara bagian barat bumi semakin terbelakang daripada negara bagian timur. Ini adalah perkara jelas yang tidak diperdebatkan dan nyata keberadaannya. Demikianlah kesimpulan pada masalah ini. Wabillahit-taufiq. Selesai

Demikianlah, saya memohon kepada Allah untuk memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan ikhlash dalam berkata dan berbuat. Dan semoga penjelasan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

Al Faqir ila ‘afwi Rabbihi

Abu Abdillah Muhammad Yahya()

17 Ramadhan 1428 H/30 September 2007 M

Desa Nijamiyah-Kab. Shamithah-Prop. Jazan

Kerajaan Saudi Arabia



( 1 ) Al Bukhari dalam Kitab Ash-Shaum Bab Qaul An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ) no 1913, Muslim dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (وُجُوْبُ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُئْيَةِ الهِلاَلِ وَالفِطْرِ لِرُئْيَةِ الهِلاَلِ) no 1080, An-Nasa ’ I dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (فِي كَم الشَّهْر) no 2140 dan Abu Daudِا dalam Kitab Ash-Shiyam no 2319 Bab (الشَّهْرُ يَكُوْنُ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ).


( 2 ) At-Tirmidzi dalam Kitab Ash-Shaum Bab (مَا جَاءَ فِي الصَّوْمِ بِاالشَّهَادَةِ) no 691, An-Nasa ’ I dalam Kitab Ash- Shiyam Bab (قَبُوْلُ شَهَادَتِ الرَّجُلِ الوَاحِدِ عَلَى هِلاَلِ شَهْرِ رَمَضَانَ) no 2112 dan 2113, Abu Daud dalam Kitab Ash-Shaum Bab (شَهَادَةُ الوَاحِدِ عَلَى رُئْيَةِ هِلاَلِ رَمَضَانَ) no 2340, Ibnu Majah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (مَا جَاءَ فِي الشَّهَادَةِ عَلَى رُئْيَةِ الهِلاَلِ) no 1652 dan Ad-Darimi dalam Kitab Ash-Shaum Bab (الشَّهَادَةُ عَلَى رُؤْيَتِ هِلاَلِ رَمَضَانَ) no 1692. Al Albani mendha ’ ifkan hadits ini.

( 3 ) Terdapat beberapa hadits dalam masalah ini. Diantaranya adalah :

1. Dari Rib ’ I bin Hirasy dari salah seorang Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , dia berkata :
( اخْتِلَفَ النَّاسُ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ, فَقَدِمَ أَعْرَابِيَانِ فَشَهِدَا عِنْدَ النَّبِيِّ 3 بِاللهِ لأَهَلاَّ الهِلاَل أَمْسِ عَشِيَّةً, فَأَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ 3 النَّاسَ أَنْ يُّفْطِرُؤْا) رواه أحمد وأبو داود و زاد (وَأَنْ يَغْدُ وْا إِلَى مُصَلاَّهُمْ) رقم 2339.

“ Manusia berbeda pendapat tentang hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian dua orang Arab Badui maju dan bersaksi dengan bersumpah atas nama Allah dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa keduanya telah melihat hilal kemarin petang. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan manusia untuk berbuka ” . HR Ahmad dan Abu Daud. Abu Daud menambahkan : “ Dan untuk berangkat ke tanah lapang pada pagi hari ” . No 2339.

2. Dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khaththab, bahwa dia berkhuthbah di hari yang diragukan :
(أَلاَ إِنِّي جَالَسْتُ أَصْحَابَ رَسُوْلِ الله 3 وَسَاءَلْتُهُمْ, وَإِنَّهُمْ حَدَّثُوْنِي أَنَّ رَسُوْلَ الله 3 قَالَ : صُوْ مُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوْا لَهَا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ فَصُوْمُوْا وَأَفْطِرُوْا).
“ Ketahuilah bahwa saya telah bermajlis dengan para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bertanya kepada mereka. Sesungguhnya mereka menyampaikan kepada saya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“ Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya dan berkurbanlah kalian karena melihatnya. Jika penglihatan kalian terhalang, maka sempurnakanlah 30 hari. Jika dua orang muslim bersaksi, maka berpuasa dan berbukalah ” . HR Ahmad dalam Musnad Al Kufiyin dan An-Nasa ’ I dalam Ash-Shiyam Bab (قَبُوْلُ شَهَادَةِ الرَّجُلِ الوَاحِدِ عَلَى هِلاَلِ شَهْرِ رَمَضَانَ) no 1997. Dan tidak tersebut didalamnya : (مُسْلِمَانِ).

3. Dari Amir Makkah Al Harits bin Hathib, dia berkata :
(عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُوْلُ 3 أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَ بِشَهَادَتِهِمَا)
“ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengamanatkan kepada kami untuk berkurban karena melihat hilal. Jika kami tidak melihatnya sementara ada dua orang yang adil bersaksi melihatnya, maka kami berkurban karena persaksian keduanya ” . HR Abu Daud dalam Ash-Shiyam no 2338 dan Ad-Daraquthni, dan dia berkata : “ Isnadnya bersambung ” . Al Albani Rahimahullah menshahihkan ketiga hadits diatas.

( 4 ) HR Muslim dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (بَيَانُ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ) no 1087, An-Nasa ’ I dalam Kitab Ash- Shiyam Bab (اخْتِلاَفُ أَهْلِ الآفَاقِ فِي الرُّؤْيَةِ) no 2111, At-Tirmidzi dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (مَا جَاءَ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ رُؤْيَتُهُمْ) no 693 dan Abu Daud dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (إِذَا رُئِيَ الهِلاَلُ فِي بَلَدٍ قَبْلَ الآ خَرِيْنَ بِلَيْلَةٍ) no 2332.

( 5 ) Pada tanggal 8 Ramadhan 1428 H, saya berkunjung ke rumah mantan guru besar fakultas As-Sunnah Universitas Islam Madinah, yang mulia Prof. Dr. Syaikh Rabi ’ bin Hadi Al Madkhali -Hafizhahullah- di Makkah Al Mukarramah. Beliau berkata kepada saya : “ Jika engkau ganti namamu -Muhammad Cahyo- dengan Muhammad Yahya, maka itu lebih baik. Sebab Yahya adalah nama Nabi ” . Dan hal ini disepakati oleh Syaikhuna Ahmad An-Najmi -Hafizhahullah-.

Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Yahya
Sumber:   http://www.darussalaf.or.id/

Meneropong Ilmu Hisab

Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah k siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan.

Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.
Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi.

Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).
Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala nyatakan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)

Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu alaihi wasallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Demikian pula Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)

Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.

Namun Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah Shallallahu alaihi wasallam bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.

Di antara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.

Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.

Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.

Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.

Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat dari agamanya.

Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:

Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ

“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau n dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu alaihi wasallam.

Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.

Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).

Nabi Shallallahu alaihi wasallam menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.

Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan1 di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.

Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:

- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.

Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu, karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.

Kedua, Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar ) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)

Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.

Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi Shallallahu alaihi wasallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.

Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah.
Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.

Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.

Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:

- Berbeda karena ketajaman penglihatan.
- Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
- Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
- Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
- Berbeda karena tingkat kebersihan udara.

Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)

Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.

Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa Saudi Arabia, ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: 'Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.'” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar )
Nabi Shallallahu alaihi wasallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi ntidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu alaihi wasallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.

Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Asy-Syaikh Ibnu Baz t ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?

Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wasallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وقال وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ لأَصَابِعِهِ كُلِّهَا

"Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”

Beliau Shallallahu alaihi wasallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَِّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”
Dan Nabi Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)

Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)

Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرًوْنَ لَيْلَةً لاَ تَصُوْمُوهُ حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلاَّ أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُم فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)

Mereka mengatakan kalimat 'tentukanlah' maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.
Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)

Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
فَاقْدِرُوا لَهُ
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam dengan lafadz:

فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْنَ

“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz:

فَأَكْمِلُوا الْعِدَِّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah:

فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam. 

1 Ibnu Hajar berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya..... Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab... Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit." (Fathul Bari 4/127)

Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=294
Sumber:  http://www.darussalaf.or.id/

Nasehat Untuk Kaum Muslimin Menyambut Bulan Ramadhan

Sesungguhnya aku menasehatkan kepada saudaraku-saudaraku kaum muslimin di mana pun berada terkait dengan masuknya bulan Ramadhan yang penuh barakah tahun 1413 H ini [1] dengan taqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, berlomba-lomba dalam seluruh bentuk kebaikan, saling menasehati dengan al haq, dan bersabar atasnya, at-ta’awun (saling membantu) di atas kebaikan dan taqwa, serta waspada dari semua perkara yang diharamkan Allah dan dari segala bentuk kemaksiatan di manapun berada. Terlebih lagi pada bulan Ramadhan yang mulia ini, karena ia adalah bulan yang agung. Amalan-amalan shalih pada bulan itu dilipatgandakan (pahalanya), dosa dan kesalahan akan terampuni bagi siapa saja yang berpuasa dan mendirikannya (dengan amalan-amalan kebajikan) dengan penuh keimanan dan rasa harap (akan keutamaan dari-Nya), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan rasa harap, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Al Bukhari 2014 dan Muslim 760)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِيْنُ.

Jika telah masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu Al Jannah akan dibuka, pintu-pintu Jahannam akan ditutup, dan para syaitan akan dibelenggu. (HR. Al Bukhari 1899 dan Muslim 1079)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :

الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّيْ صَائِمٌ.

Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh, jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa. (HR. Al Bukhari 1904)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِيْ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Semua amalan anak Adam untuknya, setiap satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, Aku yang akan membalasnya. Karena seorang yang berpuasa telah meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku. Bagi seorang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan: gembira ketika berbuka, dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih wangi daripada minyak wangi misk. (HR. Al Bukhari 1904 dan Muslim 1151)

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira kepada para shahabatnya dengan masuknya bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka:

أتاكم شهر رمضان شهر بركة، ينزل الله فيه الرحمة، ويحط الخطايا، ويستجيب الدعاء، ويباهي الله بكم ملائكته ، فأروا الله من أنفسكم خيرا ؛ فإن الشقي من حرم فيه رحمة الله

Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh barakah. Allah menurunkan padanya rahmah, menghapus kesalahan-kesalahan, mengabulkan do’a, dan Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat-Nya, maka perlihatkanlah kepada Allah kebaikan dari diri-diri kalian, sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang diharamkan padanya rahmat Allah. (Dalam Majma’ Az-Zawa`id Al-Haitsami menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir)

Dan beliau ‘Alaihish Shalatu Wassalam bersabda

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan yang haram dan mengamalkannya, ataupun bertindak bodoh, maka Allah tidak butuh dengan upaya dia dalam meninggalkan makan dan minumnya. (HR Al Bukhari dalam Shahihnya).

Hadits-hadits tentang keutamaan bulan Ramadhan dan dorongan untuk memperbanyak amalan di dalamnya sangatlah banyak.

Maka aku juga mewasiatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin untuk istiqmah pada siang dan malam-malam bulan Ramadhan dan berlomba-lomba dalam segala bentuk amalan kebaikan, di antaranya adalah memperbanyak qira’ah (membaca) Al Qur’anul Karim disertai dengan tadabbur (upaya mengkajinya) dan ta’aqqul (upaya memahaminya), memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istighfar, serta memohon kepada Allah Al Jannah, berlindung kepada-Nya dari An Nar, dan do’a-do’a kebaikan yang lainnya.

Sebagaimana aku wasiatkan juga kepada saudara-saudaraku untuk memperbanyak shadaqah, membantu para fakir miskin, peduli untuk mengeluarkan zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, disertai juga dengan kepedulian untuk berdakwah ke jalan Allah subhanahu, memberikan pengajaran kepada orang jahil, dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang lembut, hikmah, dan metode yang baik, disertai juga dengan sikap hati-hati dari segala bentuk kejelekan, dan senantiasa bertaubat dan istiqmah di atas al-haq dalam rangka mengamalkan firman-Nya subhanahu:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur: 31)

Dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istioqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Al Jannah, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Al Ahqaf: 13-14)

Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq bagi semuanya kepada perkara-perkara yang diridhai-Nya, dan mudah-mudahan Allah melindungi semuanya dari kesesatan (yang disebabkan) fitnah dan gangguan-gangguan setan. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia.

[1] Nasehat ini disampaikan pada 1413 H. namun karena isi nasehat ini tidak pernah kadaluwarsa dan senantiasa relevan maka kami tampilkan kembali meskipun sudah berlalu 7 tahun yang lalu
Penulis: Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=335)
Diposting kembali dari: http://www.darussalaf.or.id/


Note: Kami mohon maaf pada teks asli pengambilan kami dari situs Darussalaf, terdapat teks lafadz tasyahud khotbah hajat pada awal artikel, namun dalam menerbitkan entry  terdapat kode HTML yang mucul pada postingan sehingga artikel tidak dapat terbaca (style read more), maka kami sengaja menghapusnya, namun sedikit pun kami tidak mengganggu isi dan tujuan artikel ini. Barokallahufiykum...
By: EL-THAREQ

Kamis, 28 Juli 2011

Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan “Keluarga Bahagia tanpa Problema”

Berikut ini sepuluh wasiat untuk wanita, untuk istri, untuk ibu rumah tangga dan ibunya anak-anak yang ingin menjadikan rumahnya sebagai pondok yang tenang dan tempat nan aman yang dipenuhi cinta dan kasih sayang, ketenangan dan kelembutan.
Wahai wanita mukminah!
Sepuluh wasiat ini aku persembahkan untukmu, yang dengannya engkau membuat ridla Tuhanmu, engau dapat membahagiakan suamimu dan engkau dapat menjaga tahtamu.
Wasiat Pertama: Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat

Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah!!
Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncangkan kerajaan. Maka janganlah engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah dan jangan engkau seperti Fulanah yang telah bermaksiat kepada Allah… Maka ia berkata dengan menyesal penuh tangis setelah dicerai oleh sang suami: "Ketaatan menyatukan kami dan maksiat menceraikan kami…"
Wahai hamba Allah… Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu dan menjaga untukmu suamimu dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan mencerai-beraikan keutuhannya.
Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata "Aku mohon ampun kepada Allah… itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku)…"
Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:
- Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar. Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya’ dan sum’ah.
- Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan)." (Al Hujuraat: 11)
- Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهُمْ وَأَبْغَضَ الْبِلادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهُمْ
"Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya."1
- Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pembantu dan pendidik-pendidik yang kafir.
- Meniru wanita-wanita kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka."2
- Menyaksikan film-film porno dan mendengarkan nyanyian.
- Membaca majalah-majalah lawakan/humor.
- Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan mendesak.
- Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.3
- Bersahabat dengan wanita-wantia fajir dan fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ
"Seseorang itu menurut agama temannya."4
- Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah)

Wasiat kedua: Berupaya mengenal dan memahami suami

Hendaknya seorang istri berupaya memahami suaminya. Ia tahu apa yang disukai suami maka ia berusaha memenuhinya. Dan ia tahu apa yang dibenci suami maka ia berupaya untuk menjauhinya, dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah Ta`ala). Berikut ini dengarkanlah kisah seorang istri yang bijaksana yang berupaya memahami suaminya.
Berkata sang suami kepada temannya: "Selama dua puluh tahun hidup bersama belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat membuatku marah."
Maka berkata temannya dengan heran: "Bagaimana hal itu bisa terjadi."
Berkata sang suami: "Pada malam pertama aku masuk menemui istriku, aku mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka ia berkata: ‘Jangan tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’ Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah dan shalawat atas Rasulullah… Aku adalah wanita asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya dan apa yang engkau tidak sukai niscaya aku akan meninggalkannya.’ Kemudian ia berkata: ‘Aku ucapkan perkataaan ini dan aku mohon ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.’"
Berkata sang suami kepada temannya: "Demi Allah, ia mengharuskan aku untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila engkau tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai bukti untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa yang engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’ Istri berkata: ‘Apakah engkau suka bila aku mengunjungi keluargaku?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung). Ia berkata lagi: ‘Siapa di antara tetanggamu yang engkau suka untuk masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau tidak sukai maka akupun tidak menyukainya?’ Aku katakan: ‘Bani Fulan adalah kaum yang shaleh dan Bani Fulan adalah kaum yang jelek.’"
Berkata sang suami kepada temannya: "Lalu aku melewati malam yang paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai. Suatu ketika di permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat kerjaku, aku dapatkan ibu mertuaku ada di rumahku. Lalu ibu mertuaku berkata kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’"
Aku jawab: "Ia sebaik-baik istri."
Ibu mertuaku berkata: "Wahai Abu Umayyah.. Demi Allah, tidak ada yang dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek daripada istri penentang (lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya sesuai dengan kehendakmu."
Berkata sang suami: "Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali sekali, itupun karena aku berbuat dhalim padanya."5
Alangkah bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku tidak tahu apakah kekagumanku tertuju pada istri tersebut dan kecerdasan yang dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang ibu dan pendidikan yang diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami dan hikmah yang dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Wasiat ketiga: Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik

Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya."6
Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِثْنَانِ لا تُجَاوِزُ صَلاتُهُمَا رُؤُوْسُهُمَا: عَبْدٌ آبَق مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ
"Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali."7
Karena itulah Aisyah Ummul Mukminin berkata dalam memberi nasehat kepada para wanita: "Wahai sekalian wanita, seandainya kalian mengetahui hak suami-suami kalian atas diri kalian niscaya akan ada seorang wanita di antara kalian yang mengusap debu dari kedua kaki suaminya dengan pipinya."8
Engkau termasuk sebaik-baik wanita!!
Dengan ketaatanmu kepada suamimu dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjadi sebaik-baik wanita, dengan izin Allah. Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: "Wanita bagaimanakah yang terbaik?" Beliau menjawab:
اَلَّتِى تَسِرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلا تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلا مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
"Yang menyenangkan suami ketika dipandang, taat kepada suami jika diperintah dan ia tidak menyalahi pada dirinya dan hartanya dengan yang tidak disukai suaminya." (Isnadnya hasan)
Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
اَلْمَرْأَةُ إِذَا صَلَّتْ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَأَحْصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، فَلْتَدْخُلُ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
"Bila seorang wanita shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan."9

Wasiat keempat: Bersikap qana’ah (merasa cukup)

Kami menginginkan wanita muslimah ridla dengan apa yang diberikan (suami) untuknya baik itu sedikit ataupun banyak. Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Dalam riwayat disebutkan "Wanita yang paling besar barakahnya." Wahai siapa gerangan wanita itu?! Apakah dia yang menghambur-hamburkan harta menuruti selera syahwatnya dan mengenyangkan keinginannya? Ataukah dia yang biasa mengenakan pakaian termahal walau suaminya harus berhutang kepada teman-temannya untuk membayar harganya?! Sekali-kali tidak… demi Allah, namun (mereka adalah):

أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةٌ، أَيْسَرُّهُنَّ مُؤْنَةً
"Wanita yang paling besar barakahnya adalah yang paling ringan maharnya."10
Renungkanlah wahai suadariku muslimah adabnya wanita salaf radliallahu ‘anhunna… Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat padanya. Apa wasiatnya? Ia berkata kepada sang suami: "Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa sabar dari api neraka…"
Adapun sebagian wanita kita pada hari ini apa yang mereka wasiatkan kepada suaminya jika hendak keluar rumah?! Tak perlu pertanyaan ini dijawab karena aku yakin engkau lebih tahu jawabannya dari pada diriku.

Wasiat kelima: Baik dalam mengatur urusan rumah, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya. Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

Renungkanlah semoga Allah menjagamu, kisah seorang wanita, istri seorang tukang kayu… Ia bercerita: "Jika suamiku keluar mencari kayu (mengumpulkan kayu dari gunung) aku ikut merasakan kesulitan yang ia temui dalam mencari rezki, dan aku turut merasakan hausnya yang sangat di gunung hingga hampir-hampir tenggorokanku terbakar. Maka aku persiapkan untuknya air yang dingin hingga ia dapat meminumnya jika ia datang. Aku menata dan merapikan barang-barangku (perabot rumah tangga) dan aku persiapkan hidangan makan untuknya. Kemudian aku berdiri menantinya dengan mengenakan pakaianku yang paling bagus. Ketika ia masuk ke dalam rumah, aku menyambutnya sebagaimana pengantin menyambut kekasihnya yang dicintai, dalam keadaan aku pasrahkan diriku padanya… Jika ia ingin beristirahat maka aku membantunya dan jika ia menginginkan diriku aku pun berada di antara kedua tangannya seperti anak perempuan kecil yang dimainkan oleh ayahnya."

Wasiat keenam: Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya. Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

Berapa banyak rumah tangga yang masuk padanya pertikaian dan perselisihan disebabkan buruknya sikap istri terhadap ibu suaminya dan tidak adanya perhatian akan haknya. Ingatlah wahai hamba Allah, sesungguhnya yang bergadang dan memelihara pria yang sekarang menjadi suamimu adalah ibu ini, maka jagalah dia atas kesungguhannya dan hargailah apa yang telah dilakukannya. Semoga Allah menjaga dan memeliharamu. Maka adakah balasan bagi kebaikan selain kebaikan?

Wasiat ketujuh: Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.

Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam duka cita dan kesedihannya. Aku ingin mengingatkan engkau dengan seorang wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya dan panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati suami. Bahkan ia terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. Suatu hari istri yang lain itu (yakni Aisyah radliallahu ‘anha) berkata:

مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِلنَّبِيِّ؟ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ هَلَكَتْ قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَنِي، لَمَّا كُنْتُ أَسْمَعُهُ يَذْكُرُهَا
"Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal ia meninggal sebelum beliau menikahiku, mana kala aku mendengar beliau selalu menyebutnya."11
Dalam riwayat lain:
مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا
"Aku tidak pernah cemburu kepada seorangpun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebutnya."12
Suatu kali Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau menyebut Khadijah:
كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلا خَدِيْجَةُ فَيَقُولُ لَهَا إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ
"Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah?!" Maka beliau berkata kepada Aisyah: ‘Khadijah itu begini dan begini.’"13
Dalam riwayat Ahmad pada Musnadnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "begini dan begini" (dalam hadits diatas) adalah sabda beliau:
آمَنَتْبِي حِيْنَ كَفَرَ النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْكَذَّبَنِي النَّاسُ رَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْحَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللهُ مِنْهَا الوَلَد
"Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang meng-haramkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezki berupa anak darinya."14
Dialah Khadijah yang seorangpun tak akan lupa bagaimana ia mengokohkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi dorongan kepada beliau. Dan ia menyerahkan semua yang dimilikinya di bawah pengaturan beliau dalam rangka menyampaikan agama Allah kepada seluruh alam.
Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama:
وَاللهُ لا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
"Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran."15
Jadilah engkau wahai saudari muslimah seperi Khadijah, semoga Allah meridhainya dan meridlai kita semua.

Wasiat kedelapan: Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaanya.

Siapa yang tidak tahu berterimakasih kepada manusia, ia tidak akan dapat bersyukur kepada Allah. Maka janganlah meniru wanita yang jika suaminya berbuat kebaikan padanya sepanjang masa (tahun), kemudian ia melihat sedikit kesalahan dari suaminya, ia berkata: "Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu…" Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ اَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَمْ ذَلِكَ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ
"Wahai sekalian wanita bersedekahlah karena aku melihat mayoritas penduduk nereka adalah kalian." Maka mereka (para wanita) berkata: "Ya Rasulullah kepada demikian?" Beliau menjawab: "Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami."16
Mengkufuri kebikan suami adalah menentang keutamaan suami dan tidak menunaikan haknya.
Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat engkau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu dalam hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hakmu. Namun di mana bandingan kesalahan itu dengan lautan keutamaan dan kebaikannya padamu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يَنْظُرُ اللهَ إِلَى امْرَأَةٍ لا تَشْكُرُ زَوْجَهَا وَهِيَ لا تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ

"Allah tidak akan melihat kepada istri yang tidak tahu bersyukur kepada suaminya dan ia tidak merasa cukup darinya."17

Wasiat kesembilan: Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya (yang paling pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapa pun maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi.
Sesungguhnya majelis sebagian wanita tidak luput dari membuka dan menyebarkan aib-aib suami atau sebagian rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa yang besar. Karena itulah ketika salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebarkan satu rahasia beliau, datang hukuman keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak mendekati isti tersebut selama satu bulan penuh.
Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya berkenaan dengan peristiwa tersebut.
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ
"Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala si istri menceritakan peristiwa itu (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepada beliau) dan menyembunyikan sebagian yang lain." (At Tahriim: 3)
Suatu ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengunjungi putranya Ismail, namun beliau tidak mejumpainya. Maka beliau tanyakan kepada istri putranya, wanita itu menjawab: "Dia keluar mencari nafkah untuk kami." Kemudian Ibrahim bertanya lagi tentang kehidupan dan keadaan mereka. Wanita itu menjawab dengan mengeluh kepada Ibrahim: "Kami adalah manusia, kami dalam kesempitan dan kesulitan." Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata: "Jika datang suamimu, sampaikanlah salamku padanya dan katakanlah kepadanya agar ia mengganti ambang pintunya." Maka ketika Ismail datang, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal itu, Ismail berkata: "Itu ayahku, dan ia memerintahkan aku untuk menceraikanmu. Kembalilah kepada keluargamu." Maka Ismail menceraikan istrinya. (Riwayat Bukhari)
Ibrahim ‘Alaihis Salam memandang bahwa wanita yang membuka rahasia suaminya dan mengeluhkan suaminya dengan kesialan, tidak pantas untuk menjadi istri Nabi maka beliau memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya.

Oleh karena itu, wahai saudariku muslimah, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti (ahli fatwa) atau orang yang engkau harapkan nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun radliallahu ‘anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hindun berkata: "Abu Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak memberiku apa yang mencukupiku dan anak-anakku. Apakah boleh aku mengambil dari hartanya tanpa izinnya?!"
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma`ruf."
Cukup bagimu wahai saudariku muslimah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ مِنْ شَرِ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرُّ صَاحِبَهُ
"Sesungguhnya termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah pria yang bersetubuh dengan istrinya dan istri yang bersetubuh dengan suaminya, kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pasanannya."18

Wasiat terakhir: Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan-kesalahan.

- Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang yang demikian itu dengan sabdanya:
لا تُبَاشِرُ مَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
"Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu ia mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya."19
Tahukah engkau mengapa hal itu dilarang?!
- Termasuk kesalahan adalah apa yang dilakukan sebagian besar istri ketika suaminya baru kembali dari bekerja. Belum lagi si suami duduk dengan enak, ia sudah mengingatkannya tentang kebutuhan rumah, tagihan, tunggakan-tunggakan dan uang jajan anak-anak. Dan biasanya suami tidak menolak pembicaraan seperti ini, akan tetapi seharusnyalah seorang istri memilih waktu yang tepat untuk menyampaikannya.
- Termasuk kesalahan adalah memakai pakaian yang paling bagus dan berhias dengan hiasan yang paling bagus ketika keluar rumah. Adapun di hadapan suami, tidak ada kecantikan dan tidak ada perhiasan.
Dan masih banyak lagi kesalahan lain yang menjadi batu sandungan (penghalang) bagi suami untuk menikmati kesenangan dengan istrinya. Istri yang cerdas adalah yang menjauhi semua kesalahan itu.

Footnote:
1Riwayat Muslim dalam Al-Masajid: (bab Fadlul Julus fil Mushallahu ba’dash Shubhi wa Fadlul Masajid)
2Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albany, lihat "Irwaul Ghalil", no. 1269 dan "Shahihul Jami’" no. 6149
3Lihat kitab "Kaif Taksabina Zaujak?!" oleh Syaikh Ibrahim bin Shaleh Al Mahmud, hal. 13
4Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, ia berkata: Hadits hasan gharib. Berkata Al Albany: "Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Tirmidzi." Lihat takhrij "Misykatul Masabih" no. 5019
5Al Masyakil Az Zaujiyyah wa Hululuha fi Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman Al Khasyat, hal. 28-29
6Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan Al Albany, lihat "Shahihul Jami`us Shaghir" no. 5294
7Riwayat Thabrani dan Hakim dalam "Mustadrak"nya, dishahihkan Al Albany hafidhahullah sebagaimana dalam "Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah" no. 288
8Lihat kitab "Al Kabair" oleh Imam Dzahabi hal. 173, cetakan Darun Nadwah Al Jadidah
9Riwayat Ibnu Nuaim dalam "Al Hilyah". Berkata Syaikh Al Albany: "Hadits ini memiliki penguat yang menaikkannya ke derajat hasan atau shahih." Lihat "Misykatul Mashabih" no. 3254
10Hadits lemah, diriwayatkan Hakim dan dishahihkannya dan disepakati Dzahabi. Namun Al Albany mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Illatnya pada Ibnu Sukhairah dan pembicaraaan tentangnya disebutkan secara panjang lebar pada tempatnya, lihatlah dalam "Silsilah Al Ahadits Ad Dlaifah" no. 1117
11Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab "Manaqibul Anshar", bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
12Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab "Manaqibul Anshar", bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
13Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab "Manaqibul Anshar", bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
14Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya 6/118 no. 24908. Aku katakan: Al Hafidh Ibnu Hajar membawakan riwayat ini dalam "Fathul Bari", ia berkata: "Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari Aisyah." Dan ia menyebutkannya, kemudian mendiamkannya. Di tempat lain (juz 7/138), ia berkata: "Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani." Kemudian membawakan hadits tersebut. Berkata Syaikh kami Abdullah Al Hakami hafidhahullah: "Mungkin sebab diamnya Al Hafidh rahimahullah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mujalid bin Said Al Hamdani. Dalam "At Taqrib" hal. 520, Al Hafidh berkata: "Ia tidak kuat dan berubah hapalannya pada akhir umurnya." Al Haitsami bersikap tasahul (bermudah-mudah) dalam menghasankan hadits ini, beliau berkata dalam Al Majma’ (9/224): "Diriwayatkan Ahmad dan isnadnya hasan."
15Muttafaq alaihi, diriwayatkan Bukhari dalam "Kitab Bad’il Wahyi" dan Muslim dalam "Kitabul Iman"
16Diriwayatkan Bukhari dalam "Kitab Al Haidl", (bab Tarkul Haidl Ash Shaum) dan diriwayatkan Muslim dalam "Kitabul Iman" (bab Nuqshanul Iman binuqshanith Thaat)
17Diriwayatkan Nasa’i dalam "Isyratun Nisa’" dengan isnad yang shahih.
18Diriwayatkan Muslim dalam "An Nikah" (bab Tahrim Ifsya’i Sirril Mar’ah).
19Diriwayatkan Bukhari dalam "An Nikah" (bab Laa Tubasyir Al Mar’atul Mar’ah). Berkata sebagian ulama: "Hikmah dari larangan itu adalah kekhawatiran kagumnya orang yang diceritakan terhadap wanita yang sedang digambarkan, maka hatinya tergantung dengannya (menerawang membayangkannya) sehingga ia jatuh kedalam fitnah. Terkadang yang menceritakan itu adalah istrinya -sebagaimana dalam hadits dia atas- maka bisa jadi hal itu mengantarkan pada perceraiannya. Menceritakan kebagusan wanita lain kepada suami mengandung kerusakan-kerusakan yang tidak terpuji akibatnya.

(Sumber: الأسرة بلا مشاكل karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih. Edisi Indonesia: Rumah Tangga Tanpa Problema; bab Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan "Keluarga Bahagia tanpa Problema", hal. 59-82. Penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein. Editor: Abû ‘Umar ‘Ubadah. Penerbit: Pustaka Al-Haura’, cet. ke-2, Jumadits Tsani 1424H, dicopy dari http://akhwat.web.id)

Diposting kembali dari: http://www.darussalaf.or.id/

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites