Oleh:
MUSLIMIN HERMAN (ABU THARIQ )
Pusat Kajian Salafi Kota Bau-Bau
Pusat Kajian Salafi Kota Bau-Bau
Bismillah,
segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan
kejelekkan amal perbuatan kami. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka
tidak ada yang dapat menyesatkanya, dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka
tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada
ilah yang berhak di’ibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu
baginya dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
Seorang Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta, Fajar Kurnianto, menanggapi fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya berdiri dan memberi hormat kepada
bendera, yang dimuat dalam sebuah media surat kabar edisi kamis, 12
Februari 2012 dan di sebuah situs http://.lampungpost.com, dengan judul
artikel “Haramkah Menghormat Bendera? merupakan
pernyataan sikap dan sekaligus bantahan terhadap fatwa beserta lembaganya
yang merupakan wadah tertinggi yang dijadikan rujukan terakhir umat Islam
Indonesia ini. Tanggapan tersebut berupa poin-poin bantahan terhadap satu
per satu penjelasan ringkas Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas alasan
diharamkannya penghormatan kepada bendera.
Dari penjelasan tersebut nampak ada dua poin
penting yang merupakan substansi dari tanggapan Group Paramadina ini, adalah
bahwa: yang pertama, Menghormat bendera Tidak Haram, berikut
beberapa poin alasannya dan kedua, Ada Pemaksaan Tafsir dikalangan
ulama.
Pada kesempatan ini saya mecoba menuliskan tiga poin
penting dalam menanggapi pernyataan sang Peneliti Islam ini, yakni:
1. Sikap dia (Fajar Kurnianto) terhadap
fatwa dan ulama serta dampak yang akan terjadi terhadap umat Islam.
2. Kewenangan dan kapabilitas dia dalam
menyelesaikan problema umat Islam.
3. Kerapuhan argumen bantahannya.
Selanjutnya menyusul tanggapan untuk menguatkan
bantahan terhadap argumen spekulatif dia (Fajar Kurnianto). Oleh karena itu
saya akan lebih dulu memaparkan tiga poin pertama diatas kemudian
menyusul penjelasan tambahan.
1. SIKAP DIA (FAJAR KURNIANTO) TERHADAP FATWA
DAN ULAMA SERTA DAMPAK YANG AKAN TERJADI TERHADAP UMAT ISLAM.
Tidak ada indentitas jelas penulis yang terlampir pada
artikel koran tersebut, apakah dia seorang Muslim atau bukan. Jika dia bukan
seorang Muslim, kita semua pasti telah memahami dan memaklumi mengapa ia
harus bersikap tidak etis kepada para ulama. Namun sangat disayangkan jika
prilaku tidak hormat pada ulama ini menjadi tabiat dia sebagai seorang Muslim
sekaligus intelektual akademik. Dan jika dia seorang Muslim yang baik,
pasti akan menemukan cara yang terbaik dalam hal menanggapi fatwa-fatwa
yang tidak sejalan dengan cara berpikir dia, bukan dengan cara melempar
argumen-argumen murahan pada media surat kabar yang akan berdampak pada rusaknya
hubungan kaum muslimin dengan ulamanya.
Sebagai seorang Muslim kita harus bisa menempatkan ulama
pada posisi yang layak untuk dihormati, sebagai sandaran ketika kita mengalami
kebuntuan dalam masalah-masalah spritual dan syariah, karena seperti hadits
yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sepertinya
Fajar kurnianto juga masih meyakininya bahwa para ulama adalah
warasatil anbiya. Saya pribadi secara khusus tidak menitik beratkan
pembelaan saya kepada MUI *, namun lebih jauh dari itu yakni para ulama yang
menjadi rujukan umat Islam dunia, khsusnya yang berada di Saudi Arabia yang
dianggap Fajar sebagai rujukan MUI dalam mengeluarkan fatwa ini.
Kita harus sadari bersama bahwa bangsa kita yang tercinta
ini sekarang sedang berada di ambang kejatuhan, bukan hanya sekedar pada
dimensi ekonomi yang carut marut, namun kita telah jauh masuk pada kehancuran
yang bersifat multidimensi, baik dalam perkara yang konkrit seperti ekonomi dan
politik maupun dalam hal aqidah, adab, akhlaq dan moral serta nilai-nilai
sosial lainnya. Oleh karena itu, kalau kita memang benar-benar memiliki
komitmen dalam menata kembali puing-puing yang telah berjatuhan ini, serta
menyatukan kembali komponen yang telah kocar kacir ini, kita seharusnya tidak
boleh mengangkat tangga dan menindihkannya kembali pada orang yang telah jatuh
dari tangga tersebut. Maka sikap kita sebagai orang yang telah tersemat
nilai-nilai intelektual, lebih lagi sebagai seorang muslim, wajib bagi
kita untuk memiliki sikap yang proporsional dalam menyikapi segala
permasalahan, agar masyarakat tetap terbina serta terdidik dengan baik,
baik dalam skala satu kesatuan berbangsa, maupun sesama saudara kita kaum
muslimin secara keseluruhan.
2. KEWENANGAN DAN KAPABILITAS DIA DALAM
MENYELESAIKAN PROBLEMA UMAT ISLAM.
Dalam artikel bantahan Fajar tersebut, terdapat berapa
uraian hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ia jelaskan
sendiri, ini merupakan sinyalemen kuat bahwa ia ternyata juga masih mempercayai
hadits-hadts Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah salah
bila kita juga mengingatkan dia semoga
dia mempercayainya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda bahwa suatu kaum akan selalu berada diambang kehancuran bila mereka
menyerahkan suatu perkara kepada yang bukan ahlinya. Kemudian dalam menjawab
pertanyaan sebagian dari sahabatnya tentang makna Ruwaibidha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan tegas menjawab bahwa “ Mereka yang dungu
(bodoh) sok berbicara tentang urusan umat”.
Perlu diketahui bawha Fajar kurnianto bukanlah
seorang yang berilmu tentang Islam, apalagi sebagai ulama yang memilki
tanggung jawab penuh terhadap berbagai persoalan dan kemaslahatan umat Islam,
serta memiliki kualitas keilmuan yang memadai dalam berbagai cabang dan aspek-aspek
Islam. Dia hanya seorang Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK) Universitas Paramadina Jakarta. Kita jangan terkecoh dengan label “Pusat
Studi Islam” pada idetintas dia, karena label ini tidak hanya berada pada
universitas yang dikelola oleh umat Islam seperti Universitas Paramadina
Jakarta, dan juga beberapa universitas yang terdapat di negeri-negeri muslim
lainnya, seperti Muhammad University Maroko, Khartoum University Sudan,
Damascus University Suriah, namun telah banyak terdapat universitas
di negri Non-Muslim dan dikelola oleh yang bukan Muslim pun menyediakan
lembaga-lembaga studi dan kajian Islam seperti Harvard University,
Boston-Amerika, University of North Carolina, Cape Hill-Amerika, Wake
Forest Univesity, Mc Gill University Kanada. Keempat Universitas Eropa dan
Amerika ini telah banyak melahirkan sarjana Islamologi dan perbandingan agama
serta pemikir-pemikir orientalis dan liberal-pluralis dunia.
Universitas Paramadina Jakarta dimana Fajar Kurnianto
bernaung merupakan universitas yang memiliki andil besar dalam penyebaran paham
dan gagasan liberal dan pluralisme di negeri ini. Secara khusus Universitas
Paramadina menjalin hubungan baik dengan beberapa universitas Amerika dan Eropa
seperti Harvard dan Mc Gill. Universitas ini didirikan pada tanggal 10 januari
1998 dibawah bendera Yayasan Paramadina Mulya dan kini berganti nama menjadi
Yayasan Wakaf Paramadina. Yayasan Wakaf Paramadina ini merupakan lembaga
non-profit dan independent. Lembaga ini aktif secara langsung maupun tidak
dalam menggali isu-isu sosial keagamaan. Fokus utamanya adalah pada kajian
pemikiran keagamaan dan advokasi kebebasan agama, serta memiliki tiga pilar
utamanya yakni Keislaman, Kemoderenan dan Keindonesian yang sangat paralel
dengan semangat pluralisme, demokrasi dan kebebasan beragama.
3. KERAPUHAN ARGUMEN BANTAHANNYA.
Harono Ahmad Jais dalam bukunya Aliran dan Paham
Sesat di Indonesia menyebutkan beberapa alasan kelemahan pemikiran
paham liberal, sebagai berikut:
1. Tidak memiliki landasan/ dalil yang
benar.
2. Tidak memiliki paradigma ilmiah yang
bisa dipertanggungjawabkan.
3. Tidak mengakui realita yang tampak
nyata.
4. Tidak mengakui sejarah yang benar
adanya.
5. Tidak punya rujukan yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Kelemahan-kelemahan itu bisa dibagi dua:
1. Lemah dari segi metode keilmuan
2. Lemah dari segi tinjauan keyakinan atau
teologis. -Sekian- (Aliran dan Paham Sesat di Indonesia )
Ketika bangsa ini terancam dengan persoalan
disintegrasi, lagu yang paling asyik dan sangat manjur untuk meninabobohkan
rakyat adalah “Patriotisme, persatuan dan keutuhan bangsa” hampir semua yang
mengucapkan kalimat-kalimat ini akan merasa dan dianggap menjadi “Pahlawan Instan”.
Murah memang, semua orang akan mudah mengucapkannya, tidak perlu mengeluarkan
dana ataupun anggaran besar kalau hanya sekedar mengalihkan isyu dan keinginan
serta tuntutan-tuntutan rakyat akan janji-janji yang tidak dipenuhi yang
terlanjur diucapkan para penggila jabatan sebelum mereka berhasil duduk pada
posisi tertentu. Maka tidaklah heran kalau ada seorang pimpinan daerah
mengancam akan menutup sekolah yang tidak melaksanakan kegiatan upacara
bendera. Benarkah, tidak adanya upacara bendera berpengaruh terhadap
penyelesaian persoalan bangsa yang begitu kompleks? Sungguh sangat tidak
berakal sehat seseorang yang beranggapan demikian.
Inilah yang getol disuarakan dan dibela oleh Mazhab
Paramadina, yang justru tidak bisa meyelaraskan isu keagamaan dan kenegaraan
atas bangsa yang mayoritas bergama Islam ini, dimana hampir seluruh sistem dan
kekuasaan berada ditangan umat Islam. Mengapa demikian? Karena mereka tidak
memahami batas-batas dan prisip Islam dalam bernegara, kapan dan dimana harus
berjalan, dan kapan dan dimana kita harus berhenti. Justru mereka
berusaha menjatuhkan wibawa umat Islam yang berkuasa dengan membentuk
opini-opini yang rancu, serta sangat sensitive dan over protective
terhadap kepentingan kelompok minoritas, seolah-olah Islam tidak memiliki
perhatian dan toleransi (baca:adab dan akhlaq) terhadap golongan
minoritas. Sehingga salah satu slogan yang mereka sering dinyanyikan dalam
ghozul fikri ini adalah agar minoritas tidak “melebur dalam panci
mayoritas”.
Menghormat
bendera adalah rangkaian inti dari upacara bendera. Upacara bendara merupakan
salah satu jenis dari berbagai jenis upacara, dan upacara adalah bentuk sakralisasi
(Pengkhusyuan untuk pengagungan) terhadap suatu benda, tempat dan peristiwa.
Oleh karena itu penghormatan kepada bendera adalah bentuk sakralisasi/
pengagungan terhadap benda. Sakralisasi adalah merupakan wujud interaksi
spritual manusia terhadap suatu kekuatan ghaib, yang di mulai sejak
awal peradaban manusia, dimana manusia saat itu mulai menyadari kelemahan-kelemahan
mereka sebagai manusia biasa, sekaligus menyaksikan suatu fenomena kekuatan
diluar kemampuan mereka, kemudian timbullah kesadaran spritual mereka
untuk menjalin interaksi dengan sumber-sumber kekuatan tersebut. Maka upacara
menjadi sarana yang tepat dalam model peribadatan mereka saat itu. Inilah awal
dari animisme.
Seorang Guru Besar Study Agama dan Ketua Departemen Agama
di Universitas Wake Forest Amerika juga seorang doktor lulusan Universitas
Harvard dalam bidang perbandingan agama dengan spesialisasi di bidang
Studi-Studi Islam-Charles Kimball dalam bukunya When Religion Become
Evil, menyatakan bahwa : “Perayaan dan upacara yang
berlangsung sebagai sistem pelengkap dari prilaku modernisasi tidak lepas dari
tradisi awal peradaban masa lalu”. Dan para ahli Antropologi-pun
tidak pernah lepas dari penemuan-penemuan mereka akan bukti-bukti
peribadatan manusia berupa sarana-sarana dan kompleks upacara dari
setiap situs arkeologi dan budaya yang ditemukannya. Dengan ini mereka tidak
akan pernah membantah bahwa upacara adalah produk Animisme.
Setelah kedatangan dan penyebaran agama-agama monotheis
(Yahudi-Nasrani) di Eropa, terjadi asimilasi budaya antara tradisi
monotherian (Yahudi-Nasrani) dengan animisme Eropa. Karena pengaruh
animisme begitu kuat, sehingga mampu merubah sebagian besar prinsip-prinsip
paling fundamental dalam teologi Nasrani, sehingga antara Yahudi, Nasrani dan
animisme berpadu dalam satu kesatuan teologi Kristen, yang kemudian
terbentuklah tradisi-tradisi Trinitharian seperti sekarang ini.
Upacara misalnya, telah menjadi rangkaian perayaan
khusus dalam tradisi Kristen yang memang diadopsinya dari yahudi dan animisme
Eropa, sebagai satu kesatuan tatanan peribadatan mereka. Bila kita menyaksikan
secara seksama prosesi upacara Kristen dalam beberapa perayaan penting, kita
tentu yakin bahwa upacara bendera itu diadopsi dari model peribadatan Kristen
yang keseluruhan rangkaiannya merupakan perpaduan Kristen-Yahudi-Animisme. Satu
contoh yang paling nampak adalah doa-doa yang berbentuk lagu / spritual hymn (kidung rohani) atau koor (paduan suara) dalam ibadah Kristen, ini diadopsi
dari tradisi Yahudi yang ada dalam Bibel Perjanjian Lama pada kitab
Mazmur yang dianggap mengikuti cara David (Daud) dalam beribadah.
Ketika jatuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah tahun 1923,
gerakan nasionalisme dunia mencapai puncaknya. Seluruh wilayah kekuasaan
Khilafah Islam melepaskan diri dan membemtuk negara-negara merdeka.
Semangat nasionalisme dan demokrasi Eropa yang dibonceng kolonialisme,
yang notabene memegang akar tradisi Kristen mulai melanda dunia Islam.
Nilai-nilai patriotisme-nasionalisme mulai didengungkan demi keutuhan
sebuah negara. Maka salah satu cara menumbuhkan sikap patriotisme dan
nasionalisme, masyarakat Eropa saat itu mensosialisasikan bentuk ibadah
penghomatan (secara Kristen) sebagai perenungan dan do’a yang dikirimkan kepada
para pahlawan yang telah gugur demi bangsa dan negara, dengan ini maka
upacara bendera (Ibadah penghormatan) sebagai pengganti ibadah /doa dalam
gereja untuk para pahlawan kemudian dinasionalisasikan. Akhirnya prilaku
ini menulari negara-negara Islam hingga saat ini.
Demikian juga seperti sebagian umat Islam saat ini,
yang tidak mau melepaskan keterikatan tradisi animisme masa lalu, mereka
tetap dan terus bertahan dalam Dualisme Keyakinan, serta berusaha
mencari dalil-dalil penyesuaian untuk melegitimasi keimanannya.
BERIKUT RINGKASAN BANTAHAN FAJAR
KURNIANTO TERHADAP FATWA MUI
Fajar Kurnianto mengatakan bahwa Menghormat
Bendera Tidak Haram disebabkan:
Pertama, Alasan bahwa menghormat bendera
termasuk bid’ah tidak memiliki dasar argumen, karena bidah menurut para ulama
didefenisikan segala hal yang baru atau dibuat-buat yang berkaitan dengan
ibadah yang tidak memiliki dalil (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam). Jadi bid’ah hanya terkait dengan ibadah dan menghormat
bendera bukan termasuk ibadah tetapi urusan duniawi.
Kedua, Alasan bahwa menghormat bendera
bertentangan dengan tauhid, tidak relevan. Tauhid adalah peng-Esa-an terhadap
Tuhan. Apakah orang yang menghormat bendera yakin bahwa bendera adalah Tuhan?
Menghormat bendera adalah menghormat apa yang ada dibalik bendera, bendera
adalah simbolisasi perjuangan menegakkan negara, Merah-Putih adalah simbolisasi
dari keberanian dan kesucian, menghormat bendera bukan megagungkan bendera
melainkan menghormati mereka yang telah berjuang demi negara.
Ketiga, Alasan bahwa menghormat bendera
menjadi sarana menuju kesyirikan juga tidak berdasar. Syirik(politeisme)
didefenisikan menjadikan selain Tuhan sebagai Tuhan. Apakah menghormat bendera
sama dengan menyembah berhala? Tentu tidak, tidak satupun orang yang menghormat
bendera menganggab bendera adalah Tuhan.
Keempat, Alasan bahwa menghormat bendera
merupakan bentuk penyerupaan (Tasyabuh) juga tidak berdasar. Tidak masalah
melakukan hal-hal yang serupa dengan Non-Muslim, karena menghormat bendera
adalah masalah duniawi, bentuk kreasi dan expresi manusia.
Kemudian dikatakan bahwa ada kerancuan nalar
dan pemaksaan tafsir dikalangan para ulama dan tidak
adanya relevansi antara persoalan dan argumen yang dibangun,
yakni mencampuradukan antara hal duniawi (non-ibadah) dengan urusan ibadah,
dan fatwa tersebut merupakan pernyataan yang kontraproduktif
terhadap permasalahan bangsa. Kemudian dikatakan bahwa, urusan non
ibadah tidak bisa dijustifikasi hitam putih dengan nalar ibadah. MUI
sebaiknya mengurusi persoalan yang lebih penting (signifikan) dan
mendesak (urgen) seperti kekerasan atas nama agama, bukan
malah meletup-letupkan pernyataan yang kontraproduktif dan mengurusi hal-hal
remeh yang tidak memiliki signifikansi bagi kemajuan bangsa dan negara.
ANTARA ULAMA DAN UNIVERSITAS PARAMADINA
Sipakah yang lebih mengerti tentang perkara agama
berserta ibadah dan kaidah-kaidahnya, Ulama ataukah Universitas Paramadina?
Apakah kita ini bukan lagi seorang Mukmin yang telah berani mematahkan tongkat
keimanan kita tentang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa ulama sebagai Warasatil Anbiya (Pewaris Nabi)?
Tidak perlu kita berdebat perkara Ibadah, Akidah, Tauhid, Syirik, maupun
bentuk Tasyabuh disini, karena cukuplah bagi kita bahwa ulama adalah
takdir Allah subhanahu wata’ala yang dilahirkan untuk mengembalikan
manusia pada agama yang sebenarnya, sekaligus memberantas
penyimpangan dan kesesatan manusia yang mengatasnamakan Islam dan kebenaran.
Mereka para ulama telah mendedikasikan umur mereka dengan ikhlas, dan
meleburkan diri mereka dalam genangan ilmu agama, untuk menjaga agama ini
agar tetap hidup ditengah-tengah manusia, serta menjaga kemurniannya,
sehingga seluruh warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
orang-orang yang mulia disekelillingnya (Para Sahabat radhiallahu anhum)
yang berupa Akidah, ibadah, Muamalah, Adab, Akhlaq yang terampung berupa
Al-Quran dan Sunnah, sampai ditengah-tengah kita dan tetap terjaga seperti yang
kita saksikan sekarang, dimana seluruh permasalahan agama Islam
telah dikaji oleh para ulama dari zaman ke zaman dan ditulis dalam
berjilid-jilid kitab, yang tentunya sangat mustahil dapat tersaji hanya
pada beberapa lembaran artikel ini.
Bukan seperti Fajar Kurnianto yang hanya bisa
menggunting-gunting argumennya yang tidak logis lalu ditempelkan dikoran-koran
(baca: Membuat kliping) sebagai bentuk provokasi politik yang akan
memancing sentimen umat Islam kepada ulamanya.
Ulama mengeluarkan fatwa adalah merupakan bentuk
tanggung jawab moril kepada umat, agar umat Islam dapat beribadah dan
bermuamalah diatas pengetahuan (ilmu), agar mereka tidak mencampuradukan
perkara halal dan haram sehingga mereka dapat memurnikan ibadah dan muamalah
diatas aqidah yang benar, tidak perlu ketika ada masalah yang lebih penting
atau mendesak untuk harus mengeluarkan fatwa, dan tidak akan ada
kemudharatan sedikitpun dengan adanya fatwa ini. Perkara halal haram
dalam Islam justru adalah hal yang penting dan mendesak yang
segera diketahui oleh umat Islam. Apalagi tentang fatwa yang kita sekarang
permasalahan ini, menyangkut Syari’ah I’tiqadiah, yakni suatu hal yang
paling mendasar dalam Islam. Oleh karena itu, apa yang dilakukan ulama
termasuk menjustifikasi hitam putih persoalan ibadah dan non-ibadah
adalah suatu hal yang sangat tepat sekali, karena Islam adalah agama yang
tidak akan pernah membiarkan penganutnya masuk dan bermain-main dalam lingkaran
abu-abu (syubhat).
Sangat berbeda dengan apa yang dituduhkan Fajar Kurnianto
yang dia menilainya dari perspektif pruralisme, sehingga ketika satu fatwa
haram saja dikeluarkan ulama spontan dia kebakaran jenggot, sehingga segera
mengeluarkan fitnah dan tuduhan-tuduhan tidak wajar kepada para ulama,
bagaima pula bentuk kemarahannya bila ia membuka Al-Quran dan Sunnah yang
di dalamnya terdapat lebih dari delapan ratus jenis larangan dalam
Islam yang terdiri dari dua ratus-an keharaman yang di
haramkan secara total, termasuk didalamnya tujuh puluh lebih yang
menyangkut dosa-dosa besar, dan enam ratus-an larangan yang
mendekati keharaman ? Logikanya, jelas dia lebih murka terhadap Al-Quran
dan Sunnah dibanding hanya sebuah fatwa haram menghormat bendera! Masihkah kita
yakin bahwa dia seorang muslim yang baik?
Kemudian apa nilai urgensi dan signifikansi
dari menghormat bendera bagi kemajuan bangsa dan pahlawan yang telah gugur? Apakah
dengan itu para pahlawan akan diampuni dosa-dosanya kemudian dimasukkan ke
dalam surga? Ataukah anak-anak keturunan mereka akan mendapatkan santunan dari
negara? Atau pula dengan itu negara akan mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran? Bahkan menghormat bendera tidak memiliki nilai urgensi dan
signifikansi sama sekali terhadap pahlawan dan kemajuan bangsa
dan negara, tetapi justru merupakan bentuk pembodohan terhadap nalar
dan akal sehat manusia. Kalau cuma beralasan dengan kreasi dan
expresi manusia, mengapa kita harus memaksakan diri untuk
mempertahankan kreasi yang tidak memiliki nilai signifikansi dengan kemajuan
bangsa dan negara? Demikian juga alasan bukan megagungkan bendera
melainkan menghormati mereka yang telah berjuang demi negara, suatu alasan
yang tidak logis.
Justru pembelaan terhadap penghormatan bendera dengan
alasan kepentingan negara dan kemajuan bangsa atau bukan
megagungkan bendera melainkan menghormati mereka yang telah berjuang demi
negara adalah suatu prilaku yang kontraproduktif dan merupakan
ketidakrelevanan antara persoalan dan argumen yang dibangun.
Perkara ada kerancuan nalar dan pemaksaan tafsir tergantung
dari kacamata mana kita melihatnya. Seorang yang hanya bisa memantau permainan
bola dari jarak jauh, nampak ia lebih pintar dari para pemainnya,
sehingga ia bisa berkomentar sesuka hatinya, begitu pula bila seorang yang
terkena sihir kemudian gila, dan mendapatkan diagnosa medis, maka dokter hanya
bisa mengatakan bahwa pasien tersebut sedang terkena gangguan syaraf (bukan
terkena sihir). Demikian pula Fajar Kurnianto yang bukan seorang pemain
(Baca:Ulama) dari agama ini, dia hanya seorang penonton dari permainan
bola, yang mana hanya bisa berteriak dan membunyikan mercun dari luar
lapangan, dan suatu saat nanti tidak menutup kemungkinan akan turun ke tengah
lapangan dan mengacaukan permainan.
Kemudian dikatakan bahwa ulama mencampuradukkan antara
hal ibadah dan duniawi. Disini nampak sekali kebodohan dia yang hanya
bersandar pada satu hadits yang dia tafsirkan sendiri. Kita tidak akan pernah
dapat memisahkan perkara ibadah dan duniawi dalam Islam, karena setiap
perkara ibadah bergantung pada hal-hal duniawi, demikian pula semua perkara
duniawi akan mendapatkan nilai ibadah. Dapatkah seseorang melaksanakan
sholat ketika seluruh tubunya penuh najis, atau melakukan sholat dengan
telanjang? Atau seorang berpuasa tanpa sahur dan berbuka? Membayar zakat dengan
tangan kosong? Atau melaksanakan ibadah haji dengan kantong kosong ? Sudah
pasti itu semua omong kosong! Karena kita akan dipaksa mencari air untuk
membersihkan diri dari najis, membeli pakaian untuk menutup aurat dan
kelengkapan sholat, mencari atau membeli makanan untuk sahur dan berbuka,
mengumpulkan uang dengan bekerja agar dapat membayar onkos dan kelengkapan
haji, dan semua proses usaha dan kerja untuk dapat melaksanakan sholat,
puasa, zakat, dan haji tadi adalah perkara duniawi, yang kesemuanya
akan mendapat nilai ibadah sesuai dengan niatnya, karena muamalah, adab dan
akhlaq dalam Islam adalah perkara duniawi yang memiliki nilai ibadah. Apa yang
membedakan seorang berdiri sholat dan beridiri menghormat bendera? Tidak ada!
Karena yang nampak semuanya sama-sama perkara duniawi. Kecuali dua hal, yakni
Niat dan Kaifiyah (tata cara). Niat berupa pengagungan, dan kaifiyah
berupa pengkhusyuan diri. Inilah yang disebut ibadah yang dalam Islam sangat
dilarang (Haram), kecuali dengan adanya perintah dan tata cara yang dicontohkan.
Terakhir Fajar Kurnianto megatakan, MUI sebaiknya
mengurusi persoalan yang lebih penting dan mendesak
seperti kekerasan atas nama agama.
Pada akhir bantahan ini saya akan perlihatkan lagi
kembali bagaimana pernyataan professor dan guru besar mereka dari Universitas
Wake Forest Amerika, Charles Kimball dalam bukunya When Religion
Become Evil, yang diterjemahkan “Ketika Agama Menjadi Bencana”,
dalam menanggapi bentuk-bentuk persoalan Kekerasan Atas Nama Agama, seperti
kasus Teror 11 September/ WTC di Amerika, Bom Bali di Indonesia, Rangkaian bom
bunuh diri di Israel, Teror gas beracun Aum Shinrikyo di Jepang, Kekerasan
Rezim Taliban di Afghanistan terhadap warganya sendiri demi apa yang mereka
pandang sebagai ketaatan terhadap syariat Islam, Kekerasan kelompok extremis
Yahudi pimpinan Rabi Mei Kahane atas warga arab Palestina, Bunuh diri massal
pada People Temple pimpinan Jim Jones di Guyana dan Gerakan David Koresh
di Texas. Profesor ini mengatakan bahwa “semua persoalan itu
disebabkan karena agama telah menjadi korup”( kata ”korup” dipakai Charles
Kimball untuk menggambarkan agama yang telah menyimpang dari nilai dan tatanan
aslinya). Maka solusi yang ditawarkan oleh sang profesor ini adalah “ seharusnya
agama-agama mengembalikan nilai-nilai dan tatanannya kepada nilai-nilai dan
tatanan yang otentik “ (Asli seperti awal datangnya).
Selaras dengan apa yang menjadi prinsip paling penting
umat Islam dalam menyelesaikan segala permasalahannya yakni “mengembalikan
segala permasalahannya kepada Al-Quran dan Sunnah diatas pemahaman para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ke-tiga komponen inilah
yang merupakan warisan Islam paling otentik (asli)
Seharusnya Fajar Kurnianto banyak belajar dan merenungi
alur berpikir gurunya, yang seorang Kristen keturunan Yahudi ini, dalam mencari
solusi atau penyelesaian permasalahan bangsa atas kekerasan atas nama agama.
Bukan malah meletup-letup berpura-pura melemparkan tanggung jawab kepada ulama.
Namun apa hendak dikata, begitulah mereka. Disinilah kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa Fajar Kurnianto Tidak memiliki kapabilitas (kemampuan)
dan tidak pula memiliki andil dalam proses penyelesaian problema Bangsa dan
Negara ini.
HIMBAUAN
Kepada segenap kaum Muslimin untuk tetap beramal dan
beribadah menurut perintah dan larangan yang dituntunkan oleh Al-Quran dan
Sunnah melalui lisan para ulama, karena mereka adalah yang paling berhak untuk
menyampaikan Islam sepeninggal Nabi salallahu ‘alaihi wasallam. Mereka
adalah golongan manusia yang paling takut kepada Allah dan paling berilmu
dengan agama ini. Tidak ada sedikitpun kemudharatan bagi manusia terhadap
fatwa-fatwa para ulama. Justru semua untuk kemaslahatan umat.
Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata
dalam kitabnya yang masyhur I’lam Al Muwaqqi’in, Bahwa: “Bangunan dan
fondasi Islam ini dibangun diatas hikmah dan kemaslahatan para hamba di dunia
maupun akhirat, selruh syariat Islam adalah keadilan, rahmat, maslahat
dan hikmah, karena itu setiap perkara yang keluar dari keadilan kepada
kezhaliman, dari rahmat kepada laknat, dari maslahat kepada kerusakan dan dari
hikmah kepada kesia-siaan, maka bukanlah termasuk syariat Islam”.
Perintah dan larangan (Halal-Haram) dalam Islam adalah
merupakan konsekwensi ibadah. Sebab tidaklah suatu printah dan larangan
itu diturunkan kecuali mengandung sisi maslahat dan mafsadat kepada
manusia, dan juga merupakan sarana untuk mengukur sejauh mana ketaatan
dan kedurhakaan seorang hamba sebagai bentuk ujian kepada orang-orang mengikuti
syariat. Begitu banyak kaum yang binasa akibat melanggar larangan syariat
sebagai balasan atas kejahilan (kebodohan) dan kezhaliman mereka.
Allah Subhanahu Wataala Berfirman: “
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes nutfah (mani) yang
bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan) maka kami
menjadikan dia mendengar dan melihat” [QS.Al-Insan:2]
Al-Quran juga menjelaskan tentang suatu prinsip yang
seharusnya tertanam didalam dada kaum Muslimin bahwa seseorang yang dikatakan
beriman itu yakni mereka yang apabila didatangkan perintah dan larangan tiada
lain pilihan mereka kecuali Sami’na wa’ata’na (kami mendengar dan kami
taat). Prinsip ini menyusul setelah adanya pernyataan keimanan kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, kepada para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para
Rasul-Nya.
Hendaklah seorang Muslim mengenal ulamanya,
siapa mereka dan bagaimana mereka, serta mengenal bagaimana ciri-cirinya, dan
juga bagaimana seharusnya menyikapi mereka, agar kita tidak bermudah-mudah
menjatuhkan kredibilitas mereka, dan sebaliknya, tidak
bermudah-mudah menilai siapa saja yang berbicara mengenai urusan umat dan
agama dianggap sebagai ulama, karena sesungguhnya ulama itu lahir dari
“rahim” ulama. Bukan yang lahir secara “premature” praktis dan instan melalui
jalur politik dan media hiburan seperti yang banyak tumbuh dan menjamur
di media-media layar kaca sekarang ini.
ü Hendaklah seorang Muslim mengenal agamanya, serta berilmu
dengannya, karena sesungguhnya Ibadah, Muamalah, Adab dan Akhlaq dalam Islam
harus berdiri diatas Aqidah, dan prinsip-prinsip Islam( Manhaj ) yang
benar dan lurus, dan inilah penentu diterima atau ditolaknya amal
ibadah kita, dan pula sebagai penentu apakah kita termasuk golongan
mukminin atau munafiqin. Dan untuk mengetahui seluruh aspek dan prinsip
Islam itu tiadak ada jalan lain yang dituntunkan oleh Islam, adalah
kecuali dengan belajar dan menuntut ilmu tentangnya, agar kita tidak menjadi musuh
bagi agama kita sendiri, dan memusuhi agama sendiri (karena
ketidak tahuan tentang Islam), serta tidak terjebak dalam semangat beribadah
yang membabi buta, tampa pengetahuan akan aqidah yang lurus dan manhaj
yang benar sebagai landasan Islam yang paling prinsip dan mendasar, serta
berbagai aspek pengetahuan akan Islam, yang mana kesemuanya itu kelak akan
mendapatkan pertanggungjawaban dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Akhirnya kepada Allah-lah kami bermohon agar usaha ini
dijadikan amal shalih dan sebagai partisipasi kecil dalam mewujudkan
pertolongan Allah bagi kaum Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah subhanahu
wata’ala berkenan mencatatnya sebagai kebaikan.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad Salallahu Alaihi wa-Sallam, beserta keluarganya dan para
shabatnya Radhiallahu anhum ajma’in serta yang mengikuti mereka dengan
baik hingga hari akhir. Subhaanakallahumma wabihamdik, asyhadu’allaailaha
illa’anta wa’astaghfiruka wa’atuubu ‘ilaih.
Catatan:
Perlu diketahui bahwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI
) adalah sebuah lembaga independen yang memiliki fungsi sebagai
majelis fatwa atau dewan fatwa yang mengontrol kehidupan beragama di indonesia.
Lembaga ini berdiri sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai
penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang
mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan
unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat
Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang
ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut
dan POLRI serta 13
orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama
Namun sayangnya lembaga ini belum diberi hidayah oleh
Allah Subhanahu wa Taala, sehingga tidak dapat
berjalan sebagaimana fungsinya yakni mendudukkan segala permasalah negara
diatas syariat yang lurus. Hal ini disebabkan karena dalam tubuh MUI
sendiri terdiri dari berbagai macam paham dan pemikiran yang
tentunya akan mengarah pada penyimpangan-penyimpangan syariat.
Diawal terbentuknya, MUI telah menetapkan beberapa poin tujuan berdirinya,
yakni:
1.memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu
wa Ta’ala;
2. memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
3. menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah
timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
4. meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal
balik.
Sekilas ke empat poin tersebut sangat baik, namun
bisa dikatakan dari ke-empat point tersebutlah MUI tidak dapat memberikan porsi
yang proporsional terhadap rakyat, pemerintah dan syari’at.
Hal inilah yang membuat fatwa-fatwa yang dikeluarkannya
tidak diatas hikmah serta pertimbangan kemaslahatan umat. Maka
tidaklah heran jika lembaga ini sepertinya tidak memiliki wibawa ditengah-tengah masyarakat disebabkan banyaknya fatwa-fatwa
yang berputar balik, cenderung profokatif dan memilki
kepentingan serta tidak tegas dalam perkara kemungkaran dan kebatilan yang
tentunya sangat menyakiti hati umat Islam, contoh fatwa haramnya presiden wanita,
yang kemudian
dibolehkan, haramnya rokok hanya bagi
anak-anak dan wanita hamil dan masih banyak lagi, yang terakhir ini yang tidak
kalah menyakitkan kita yakni sebuah pernyataan seorang Tokoh sekaligus
sebagai ketua MUI Pusat, Umar Shihab namanya (saudara
Alwi Shihab dan Qurais Shihab tokoh Islam Liberal Indonesia yang tidak
mewajibkan istri dan anak-anaknya memakai hijab/jilbab) membuat pernyataan
pada 1 januari 2011 di Metro TV menyatakan atas nama MUI bahwa “ Syiah
tidak sesat karena merupakan dua mazhab besar dalam dunia Islam setelah Mazhab Sunni_***
Bau-Bau, 9 Jumaditsani 1433 H / Kamis, 1 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar